Sabtu, 08 Februari 2014

TEKNOLOGI KOMUNIKASI : CYBERSPACE



PENUGASAN
TEKNOLOGI KOMUNIKASI
CYBERSPACE (RUANG PUBLIK)
“facebook”
Dosen Ascharisa Mettasatya  Afrilia, M.Ikom


Disusun oleh
Endah Hartimulyani Gumindar
FIC010016

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Purwokerto
2011

RUANG PUBLIK
Pengguna internet tidak terbatas hanya pada orang dewasa saja, remaja bahkan anak kecil sekarang telah menggunakan internet. Dengan internet kita dapat dengan bebas mendapatkan segala informasi yang kita inginkan, kita juga dapat mengekspresikan diri kita dengan bebas melalui ruang publik.
Ruang publik adalah suatu wilayah yang dapat diakses semua orang dan wilayah ini membatasi dirinya secara spasial dari wilayah lain, yaitu ruang privat. Ruang privat di sini, berbeda dari ruang privat yang merupakan locus intimitas, ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Pengertian deskriptif ini dibedakan dari pengertian kedua yang bersifat normatif, yakni ruang publik yang seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau – meminjam istilah Habermas –“suatu tempat pengeraman kegelisahan politik warga”.
Habermas merupakan seorang filsuf dan sosiologi Jerman dalm tradisi teori kritis dan pragmatisme Amerika. Dia lahir di Jerman pada 18 Juni 1929. Ia telah menciptakan sebuahkonsep yang sangat terkenal dan melambungkan namanya, yaitu konsep Ranah Publik, topik dan judul buku pertamannya. Pada saat itu ranah publik hanya sebatas pada kedai kopi, parlementer, salon-salon sastra, majelis publik dan ruang-ruang publik yang lain, yang dapat di jadikan sebagai tempat untuk diskusi politik. Ranah publik mengandaikan tentang adanya kebbeasan berbicara dan berkumpul, pers bebas dan hak berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Dalam hal ini Ranah publik media digunakan sebagai tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik. Setelah melihat ranah publik yang mulai menurun tapi dengan adanya teori diskursif yang mensyaratkan komunitas politik secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya dan mengimplementasikan kehendak politik itu menjadi kebijakan ditingkat sistem legislatif. Sistem ini menyarankan adanya ranah publik aktivis, dan benar saja ranah publik itu kini kembali bangkit dengan didukung oleh kemajuan teknologi yanng semakin maju saat ini, Ruang publik tidak hanya ada di dunia nyata tapi di dalam dunia maya juga, di dalam dunia maya ruang publik lebih dikenal dengan nama Cyberspace.
Cyberspace adalah konteks dimana komunikasi bermediasi komputer (computer mediated communication) berlangsung pada saat seluruh pesan data, dan komunikasi yang berlangsung termanifestasikan dalam media berbasis komputer. Cyberspace dalam internet merupakan media massa multifase diaman di dalamnya terdapat bermacam-macam bentuk komunikasi dari komunikasi interpersonal hingga komunikasi massa, contohnya e-mail, chatting dll.
'Cyberspace’ adalah sebuah ruang maya—yang dibentuk melalui jaringan antar-komputer—yang ketika ‘mengembara’ di dalamnya kita akan menemukan berbagai panorama, dengan berbagai paradoks dan kontradiksi : kesenangan/ketakutan, kebaikan/keburukan, keaslian/kepalsuan, kecintaan/kebencian.
Paradoks cyberspace—dalam hal ini—memang sama saja dengan paradoks-paradoks di dalam ‘dunia nyata’, akan tetapi ia bersifat lebih ekstrim, lebih kuat, lebih langsung, lebih intens. Buku Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia dengan sangat memikat menggambarkan panorama Cyberspace yang penuh paradoks dan kontradiksi tersebut: paradoks antara realitas/fantasi, tubuh/jiwa, daging/ruh, Tuhan/manusia.
Zaleski menyajikan sebuah ‘peta pemikiran’ di balik dunia cyberspace, dengan menampilkan berbagai pemikiran—dalam bentuk wawancara—dari beberapa‘cyberist’,cyber religionists’ atau ‘cyber-programmers’, seperti John Perry Barlow, Jaron Lanier dan Mark Pesce, dengan segala paradoks yang ada di dalam diri mereka. Bagaimana optimisme mereka terhadap ‘realitas baru’ cyberspace, yang dianggap akan dapat menggantikan ‘realitas’ yang ada; yang akan menjadi semacam ‘agama baru’, ‘spiritualitas baru’ atau ‘Tuhan Baru’. Akan tetapi, digambarkan juga bagaimana sikap ‘fatalis’ mereka dalam menghadapi berbagai sisi buruk dan menakutkan dari dunia baru tersebut.
Zaleski menyajikan pula ‘peta penggunaan’ cyberspace oleh berbagai kelompok ‘real religionist’ (Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Islam). Bagaimana dunia baru tersebut digunakan sebagai sarana penyebaran ajaran agama; sebagai sarana komunikasi antar umat, bahkan sebagai sarana ‘penyalur’ enerji spiritual. Bagaimana cyberspace menjadi sarana yang positif dan efektif bagi peningkatan kualitas keberagamaan di dalam masyarakat global.
Meskipun demikian, Zaleski di sana sini di dalam bukunya memberikan pula berbagai penilaian kritis terhadap ‘dunia baru’ tersebut. Sikap yang diambil Zaleski, tampaknya cukup moderat, dalam pengertian ia mengambil sebuah ‘jalan tengah’ untuk mengatasi berbagai paradoks dan kontradiksi yang ada di dalam cyberspace : mengambil sisi baik dari ‘teknologi’nya, tetapi menolak sisi gelap ‘ideologi’ di baliknya.
Sikap moderat seperti yang dianut Zaleski juga tampak pada seorang kritikus budaya Amerika, Mark Slouka. Hanya saja—sementara bersikap moderat terhadap teknologi cyberspace—Slouka bersikap sangat sinis terhadap orang-orang di balik teknologi informasi tersebut. Di dalam bukunya War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality, Slouka melontarkan kritikan yang pedas terhadap para ‘filsuf’ dan ‘ideolog’ yang ada di balik teknologi cyberspace tersebut, yang menamakan diri mereka “Net Religionists”—orang-orang yang mempunyai obsesi “Ingin Jadi Tuhan’. Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa ‘dunia pikiran’ dapat dimuat (dibuatkan ‘simulasi’nya) dalam komputer; bahwa masa depan manusia tidak berada di RL (real life), tetapi di dalam berbagai bentuk VR (virtual reality); bahwa cyberspace adalah sebuah bentuk ‘lebih tinggi’ dari ‘spiritualitas’. Mereka—melalui teknologi komputer—seakan-akan menciptakan semacam ‘gerakan kenabian’ menurut versi mereka sendiri.
Di dalam bingkai paradoks dan kontradiksi tersebut di atas, maka perbincangan mengenai keterkaitan antara dunia ‘spiritualitas’ dan dunia ‘cyberspace’, tidak dapat dilepaskan dari perbincangan mengenai kerangka atau asumsi-asumsi filosofis dan ideologis di balik penciptaan dunia maya tersebut, sehingga berbagai persoalan mendasar dan hakiki yang menyangkut hubungan antara dunia teknologi (informasi), manusia dan Tuhan dapat terungkap .
Beberapa contoh kelebihan komunikasi dalam cyberspace:
1.      Asynchhronous, pesan dapat disimpan/didokumentasikan, sehingga suatu informasi tidak harus langsung dibaca pada saat itu juga karena informasi tersebut dapat disimpan. (contoh: berita/informasi dalam jurnalisme)
2.      Borderless, melalui cyberspace, tidak  ada batasan dalam ruang dan jarak sehingga memungkinkannya komunikasi lintas budaya tanpa memperhatikan lagi lokasi fisik dan posisi global. (contoh: chatting, friendster, dsb.)
3.      Interactivity. Adanya komunikasi interaktif di mana khalayak dapat memperoleh feedback atas pesan yang disampaikan lewat cyberspace.
4.      Khalayak dapat mengakses berbagai macam informasi dengan mudah, dimanapun dan kapanpun selama ada media yang mendukung untuk mengaksesnya.(kemudahan untuk mendapatkan informasi)
Sedangkan keterbatasan yang dimiliki:
1.      Batas yang dimiliki oleh cyberspace ialah, tidak memungkinkan adanya kontak fisik dalam setiap proses komunikasinya. Sehingga emosi pesan yang tersampaikan mungkin tidak maksimal dibandingkan dengan proses komunikasi secara langsung/face to face.
2.      Banyaknya ragam informasi (informaton explotion) yang membuat khalayak semakin bingung dan ragu akan validitas informasi tersebut, sehingga mengakibatkan kebutuhan khalayak yang akhirnya tidak terpenuhi.
3.      Memberikan dampak globalisasi yang sangat kuat pada suatu budaya yang memungkinkan dapat memberikan dampak yang negatif, karena informasi dalam cyberspace berasal dari seluruh penjuru dunia.
4.      Tidak semua kalangan dapat berkomunikasi atau mendapatkan informasi melaui cyberspace (i-poor,i-rich), sehingga adanya keterbatasan mengakses.(contoh: masyarakat desa masih ada yang buta akan internet, baru akhir-akhir ini dikenalkan kepada internet).
Bagaimana kita mencitrakan diri terhadap ruang publik?
Ruang publik dalam dunia maya itu terdiri dari berbagai macam, salah satunya adalah Facebook. Facebook merupakan suatu situs jejaring sosial yang termasuk kedalam ruang publik. Facebook ini di ciptakan oleh Marx Zuckerberg salah seorang mahasiswa semester dua Universitas Harvard. Facebook diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2006. Awalnya penggunaan facebook hanya untuk mahasiswa Harvard saja, lalu kemudian diperluas ke seluruh Universitas yang ada di Boston, lalu diperluas lagi keseluruh AS dan barulah keseluruh dunia. Pembuatan situs ini pada awalnya dilakukan Zuckerberg hanya untuk sebuah situs biro jodoh mahasiswa di kampusnya terinspirasi dari situs hot or not kemudian situs itu diberi nama Facemash.com, kemudian situs itu berganti nama menjadi thefacebook.com. Setelah umur sebulan thefacebook.com telah mempunyai anggota sebagian mahasiswa universitas Hardvard.  Facebook mulai merambah ke Asia pada tahun 2007 melalui India, begitu juga ke Indonesia.
Situs facebook saat ini berfungsi tidak hanya untuk biro jodoh saja melainkan juga untuk pertemanan (mencari teman baru ataupun teman lama).
MENCITRAKAN  DIRI  SAYA  PADA  FACEBOOK
Saya menempatkan diri saya pada ruang publik ini sebagai diri saya. Saya biasanya menuliskan suatu status pada facebook berdasarkan kejadian yang sedang saya alami, misalkan saya menuliskan status “saya lapar” ketika saya sedang lapar, ataupun menuliskan puisi-puisi tidak penting ketika hati saya sedang sendu wkwkwkwkwk…
Saya  menganggap facebook itu sebagai teman setia saya, seolah facebook itu seseorang yang siap mendengarkan semua keluh kesah saya, yang kemudian keluh kesah saya itu akan dijawab dengan lucu-lucuan dan ada pula yang menjawab dengan memberikan petuah-petuah oleh teman-teman saya pada situs itu. Saya menganggap mengapdate facebook itu sudah menjadi kebutuhan (saya sudah kecanduan) saya selalu merasa kangen dengan kata-kata lucu, pedas, serius dan kadang lebay yang dillontarkan teman-teman facebook saya.
Facebook yang mulanya saya abaikan kini telah menemani hari-hari saya, saya sangat senang berbagi bersama orang lain dalam facebook. Saya dapat menjalin komunikasi lagi bersama teman-teman SD dan SMP saya yang telah lama tidak berjumpa. Selain itu di dalam Facebook, telah pula disediakan untuk grup dan fasilitas lainnya. Dalam grup Facebook biasanya berisikan suatu komunitas tertentu yang mengenal satu sama lain contohnya grup komunikasi 2010. Pada grup komunikasi 2010 itu biasanya digunakan untuk  bagi-bagi info tugas dan pamer-pamer foto  serta pengumuman-pengumuman penting lainnya. Kesan facebook bagi saya, sangat menguntungkan, sangat seru dan lumayan tidak membuat jenuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pernikahan

Maaf kalo Mbak Blog kaget dengan tulisanku kali ini. Maaf.. sudah setahun tidak menyentuhmu sama sekali. Dan yang perlu diperhatikan adalah,...