PENUGASAN
TEKNOLOGI KOMUNIKASI
CYBERSPACE (RUANG PUBLIK)
“facebook”
Dosen Ascharisa Mettasatya
Afrilia, M.Ikom
Disusun oleh
Endah Hartimulyani Gumindar
FIC010016
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Purwokerto
2011
RUANG
PUBLIK
Pengguna internet tidak
terbatas hanya pada orang dewasa saja, remaja bahkan anak kecil sekarang telah
menggunakan internet. Dengan internet kita dapat dengan bebas mendapatkan segala
informasi yang kita inginkan, kita juga dapat mengekspresikan diri kita dengan
bebas melalui ruang publik.
Ruang
publik adalah suatu wilayah yang dapat diakses semua orang dan wilayah ini
membatasi dirinya secara spasial dari wilayah lain, yaitu ruang privat. Ruang privat di sini, berbeda dari ruang privat
yang merupakan locus intimitas, ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Pengertian deskriptif
ini dibedakan dari pengertian kedua yang bersifat normatif, yakni ruang publik
yang seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif
ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warganegara
berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau –
meminjam istilah Habermas –“suatu tempat pengeraman kegelisahan politik warga”.
Habermas merupakan
seorang filsuf dan sosiologi Jerman dalm tradisi teori kritis dan pragmatisme
Amerika. Dia lahir di Jerman pada 18 Juni 1929. Ia telah menciptakan
sebuahkonsep yang sangat terkenal dan melambungkan namanya, yaitu konsep Ranah
Publik, topik dan judul buku pertamannya. Pada saat itu ranah publik hanya
sebatas pada kedai kopi, parlementer, salon-salon sastra, majelis publik dan
ruang-ruang publik yang lain, yang dapat di jadikan sebagai tempat untuk diskusi
politik. Ranah publik mengandaikan tentang adanya kebbeasan berbicara dan
berkumpul, pers bebas dan hak berpartisipasi dalam perdebatan politik dan
pengambilan keputusan. Dalam hal ini Ranah publik media digunakan sebagai
tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan
transformasi politik. Setelah melihat ranah publik yang mulai menurun tapi
dengan adanya teori diskursif yang mensyaratkan komunitas politik secara
kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya dan mengimplementasikan kehendak
politik itu menjadi kebijakan ditingkat sistem legislatif. Sistem ini
menyarankan adanya ranah publik aktivis, dan benar saja ranah publik itu kini
kembali bangkit dengan didukung oleh kemajuan teknologi yanng semakin maju saat
ini, Ruang publik tidak hanya ada di dunia nyata tapi di dalam dunia maya juga,
di dalam dunia maya ruang publik lebih dikenal dengan nama Cyberspace.
Cyberspace adalah konteks dimana komunikasi bermediasi
komputer (computer mediated
communication) berlangsung pada saat seluruh pesan data, dan komunikasi
yang berlangsung termanifestasikan dalam media berbasis komputer. Cyberspace dalam internet merupakan
media massa multifase diaman di dalamnya terdapat bermacam-macam bentuk
komunikasi dari komunikasi interpersonal hingga komunikasi massa, contohnya e-mail, chatting dll.
'Cyberspace’
adalah sebuah ruang maya—yang dibentuk melalui
jaringan antar-komputer—yang ketika ‘mengembara’ di dalamnya kita akan
menemukan berbagai panorama, dengan berbagai paradoks dan kontradiksi :
kesenangan/ketakutan, kebaikan/keburukan, keaslian/kepalsuan, kecintaan/kebencian.
Paradoks
cyberspace—dalam hal ini—memang sama saja dengan
paradoks-paradoks di dalam ‘dunia nyata’, akan tetapi ia bersifat lebih
ekstrim, lebih kuat, lebih langsung, lebih intens. Buku Jeff Zaleski,
Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi
Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia dengan sangat memikat
menggambarkan panorama Cyberspace yang penuh paradoks dan kontradiksi tersebut: paradoks antara
realitas/fantasi, tubuh/jiwa, daging/ruh, Tuhan/manusia.
Zaleski
menyajikan sebuah ‘peta pemikiran’ di balik dunia cyberspace, dengan
menampilkan berbagai pemikiran—dalam bentuk wawancara—dari beberapa‘cyberist’,‘cyber
religionists’ atau ‘cyber-programmers’,
seperti John Perry Barlow, Jaron Lanier dan Mark Pesce, dengan segala paradoks
yang ada di dalam diri mereka. Bagaimana optimisme mereka terhadap ‘realitas
baru’ cyberspace, yang dianggap akan dapat menggantikan ‘realitas’ yang ada;
yang akan menjadi semacam ‘agama baru’, ‘spiritualitas baru’ atau ‘Tuhan Baru’.
Akan tetapi, digambarkan juga bagaimana sikap ‘fatalis’ mereka dalam menghadapi
berbagai sisi buruk dan menakutkan dari dunia baru tersebut.
Zaleski menyajikan pula ‘peta penggunaan’ cyberspace oleh berbagai kelompok ‘real religionist’ (Yahudi, Kristen,
Hindu, Budha, Islam). Bagaimana dunia baru tersebut digunakan sebagai sarana
penyebaran ajaran agama; sebagai sarana komunikasi antar umat, bahkan sebagai
sarana ‘penyalur’ enerji spiritual. Bagaimana cyberspace menjadi sarana yang positif dan efektif bagi peningkatan
kualitas keberagamaan di dalam masyarakat global.
Meskipun demikian, Zaleski di sana sini di
dalam bukunya memberikan pula berbagai penilaian kritis terhadap ‘dunia baru’
tersebut. Sikap yang diambil Zaleski, tampaknya cukup moderat, dalam pengertian
ia mengambil sebuah ‘jalan tengah’ untuk mengatasi berbagai paradoks dan
kontradiksi yang ada di dalam cyberspace :
mengambil sisi baik dari ‘teknologi’nya, tetapi menolak sisi gelap ‘ideologi’
di baliknya.
Sikap moderat seperti yang dianut Zaleski juga
tampak pada seorang kritikus budaya Amerika, Mark Slouka. Hanya saja—sementara
bersikap moderat terhadap teknologi cyberspace—Slouka
bersikap sangat sinis terhadap orang-orang di balik teknologi informasi
tersebut. Di dalam bukunya War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality, Slouka melontarkan
kritikan yang pedas terhadap para ‘filsuf’ dan ‘ideolog’ yang ada di balik
teknologi cyberspace tersebut, yang
menamakan diri mereka “Net Religionists”—orang-orang
yang mempunyai obsesi “Ingin Jadi Tuhan’. Mereka adalah orang-orang yang
percaya, bahwa ‘dunia pikiran’ dapat dimuat (dibuatkan ‘simulasi’nya) dalam
komputer; bahwa masa depan manusia tidak berada di RL (real life), tetapi di dalam berbagai bentuk VR (virtual reality); bahwa cyberspace
adalah sebuah bentuk ‘lebih tinggi’ dari ‘spiritualitas’. Mereka—melalui
teknologi komputer—seakan-akan menciptakan semacam ‘gerakan kenabian’ menurut
versi mereka sendiri.
Di dalam bingkai paradoks dan kontradiksi
tersebut di atas, maka perbincangan mengenai keterkaitan antara dunia ‘spiritualitas’ dan dunia ‘cyberspace’, tidak dapat dilepaskan dari
perbincangan mengenai kerangka atau asumsi-asumsi filosofis dan ideologis di
balik penciptaan dunia maya tersebut, sehingga berbagai persoalan mendasar dan
hakiki yang menyangkut hubungan antara dunia teknologi (informasi), manusia dan
Tuhan dapat terungkap .
Beberapa
contoh kelebihan komunikasi dalam cyberspace:
1.
Asynchhronous, pesan dapat disimpan/didokumentasikan, sehingga suatu informasi tidak
harus langsung dibaca pada saat itu juga karena informasi tersebut dapat
disimpan. (contoh: berita/informasi dalam jurnalisme)
2.
Borderless, melalui cyberspace,
tidak ada batasan dalam ruang dan jarak
sehingga memungkinkannya komunikasi lintas budaya tanpa memperhatikan lagi
lokasi fisik dan posisi global. (contoh: chatting,
friendster, dsb.)
3. Interactivity. Adanya komunikasi interaktif di
mana khalayak dapat memperoleh feedback atas pesan yang disampaikan
lewat cyberspace.
4.
Khalayak dapat mengakses berbagai
macam informasi dengan mudah, dimanapun dan kapanpun selama ada media yang
mendukung untuk mengaksesnya.(kemudahan untuk mendapatkan informasi)
Sedangkan keterbatasan yang dimiliki:
1.
Batas yang dimiliki oleh cyberspace ialah, tidak memungkinkan adanya kontak fisik dalam
setiap proses komunikasinya. Sehingga emosi pesan yang tersampaikan mungkin
tidak maksimal dibandingkan dengan proses komunikasi secara langsung/face to
face.
2. Banyaknya ragam
informasi (informaton explotion) yang membuat khalayak semakin bingung
dan ragu akan validitas informasi tersebut, sehingga mengakibatkan kebutuhan
khalayak yang akhirnya tidak terpenuhi.
3. Memberikan dampak
globalisasi yang sangat kuat pada suatu budaya yang memungkinkan dapat
memberikan dampak yang negatif, karena informasi dalam cyberspace berasal dari seluruh penjuru dunia.
4.
Tidak semua kalangan dapat berkomunikasi atau mendapatkan
informasi melaui cyberspace
(i-poor,i-rich), sehingga adanya keterbatasan mengakses.(contoh: masyarakat
desa masih ada yang buta akan internet, baru akhir-akhir ini dikenalkan kepada
internet).
Bagaimana kita mencitrakan
diri terhadap ruang publik?
Ruang publik dalam
dunia maya itu terdiri dari berbagai macam, salah satunya adalah Facebook.
Facebook merupakan suatu situs jejaring sosial yang termasuk kedalam ruang
publik. Facebook ini di ciptakan oleh Marx Zuckerberg salah seorang mahasiswa
semester dua Universitas Harvard. Facebook diluncurkan pertama kali pada
tanggal 4 Februari 2006. Awalnya penggunaan facebook hanya untuk mahasiswa
Harvard saja, lalu kemudian diperluas ke seluruh Universitas yang ada di Boston,
lalu diperluas lagi keseluruh AS dan barulah keseluruh dunia. Pembuatan situs
ini pada awalnya dilakukan Zuckerberg hanya untuk sebuah situs biro jodoh
mahasiswa di kampusnya terinspirasi dari situs hot or not kemudian situs itu
diberi nama Facemash.com, kemudian situs itu berganti nama menjadi thefacebook.com.
Setelah umur sebulan thefacebook.com
telah mempunyai anggota sebagian mahasiswa universitas Hardvard. Facebook mulai merambah ke Asia pada tahun
2007 melalui India, begitu juga ke Indonesia.
Situs facebook saat ini
berfungsi tidak hanya untuk biro jodoh saja melainkan juga untuk pertemanan
(mencari teman baru ataupun teman lama).
MENCITRAKAN DIRI
SAYA PADA FACEBOOK
Saya menempatkan diri
saya pada ruang publik ini sebagai diri saya. Saya biasanya menuliskan suatu
status pada facebook berdasarkan
kejadian yang sedang saya alami, misalkan saya menuliskan status “saya lapar” ketika saya sedang lapar,
ataupun menuliskan puisi-puisi tidak penting ketika hati saya sedang sendu
wkwkwkwkwk…
Saya menganggap facebook itu sebagai teman setia
saya, seolah facebook itu seseorang yang siap mendengarkan semua keluh kesah
saya, yang kemudian keluh kesah saya itu akan dijawab dengan lucu-lucuan dan
ada pula yang menjawab dengan memberikan petuah-petuah oleh teman-teman saya
pada situs itu. Saya menganggap mengapdate facebook
itu sudah menjadi kebutuhan (saya sudah kecanduan) saya selalu merasa kangen
dengan kata-kata lucu, pedas, serius dan kadang lebay yang dillontarkan
teman-teman facebook saya.
Facebook yang mulanya
saya abaikan kini telah menemani hari-hari saya, saya sangat senang berbagi
bersama orang lain dalam facebook. Saya
dapat menjalin komunikasi lagi bersama teman-teman SD dan SMP saya yang telah
lama tidak berjumpa. Selain itu di dalam Facebook,
telah pula disediakan untuk grup dan fasilitas lainnya. Dalam grup Facebook biasanya berisikan suatu
komunitas tertentu yang mengenal satu sama lain contohnya grup komunikasi 2010.
Pada grup komunikasi 2010 itu biasanya digunakan untuk bagi-bagi info tugas dan pamer-pamer
foto serta pengumuman-pengumuman penting
lainnya. Kesan facebook bagi saya,
sangat menguntungkan, sangat seru dan lumayan tidak membuat jenuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar